Konsultasi “versus” persetujuan?
Tiga elemen pertama dari PADIATAPA—tanpa paksaan, di awal, atas dasar informasi—telah ditambahkan dan dikembangkan dari waktu ke waktu untuk melindungi elemen pada inti standar ini: persetujuan.
Hal ini mencerminkan bahwa PADIATAPA membutuhkan persetujuan aktif yang bermakna. Namun, beberapa sumber menghapus kata persetujuan dari persamaan dengan menyusun ulang standar sebagai “konsultasi atas dasar informasi di awal tanpa paksaan.”[1]
Versi PADIATAPA ini, yang disebut dengan Konsultasi PADIATAPA, memanfaatkan kekuatan perlindungan elemen-elemen tanpa paksaan, di awal, dan atas dasar informasi dalam PADIATAPA, tetapi kewenangan tertinggi dalam pengambilan keputusan ada di tangan pihak yang menyelenggarakan konsultasi, bukan pihak yang diajak berkonsultasi.
Konsultasi PADIATAPA mendapat banyak kritik. Namun, menyebutnya dengan versi PADIATAPA yang disederhanakan sangatlah mudah. Konsultasi dapat dibangun di atas persetujuan para peserta Masyarakat Adat, dan ketika dihargai dalam berbagai dimensinya dan dilaksanakan dengan tulus, konsultasi dapat menjadi sumber perlindungan yang kuat.
Konsultasi juga dapat menghindarkan sejumlah kontroversi persyaratan persetujuan, yang kadang digambarkan dalam perpolitikan nasional sebagai veto Masyarakat Adat atas pengambilan keputusan tata guna lahan dan sumber daya alam yang sensitif.
Sistem hukum Kanada sebagian besar disusun berdasarkan Konsultasi PADIATAPA, tetapi dalam beberapa tahun terakhir telah terbukti mampu melindungi klaim-klaim penentuan nasib sendiri masyarakat adat dalam menghadapi tentangan kuat dari industri minyak, gas, dan jaringan pipa. Para aktivis masyarakat adat terkemuka telah mendukung gagasan tentang interaksi yang rumit antara persetujuan dan konsultasi.[2] Profesor James Anaya, seorang pelopor hukum hak-hak masyarakat adat internasional yang menjabat Pelapor Khusus PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat selama dua periode, menggambarkan hak masyarakat adat atas penentuan nasib sendiri sebagai “[]lebih dari sekadar hak diberi tahu dan didengar, tetapi bukan hak veto mutlak.”[3]
Salah satu alasan sulitnya membedakan antara persetujuan dan konsultasi adalah karena Masyarakat Adat tidak semuanya berbicara dengan satu suara, sehingga penafsiran ketat terhadap persyaratan persetujuan dalam bentuk veto dapat digunakan oleh satu Masyarakat Adat terhadap keinginan Masyarakat Adat yang lain. Dan hak masyarakat adat atas penentuan nasib sendiri selalu bersitegang dengan hak prerogatif kedaulatan yang dijalankan oleh negara-bangsa kontemporer. Mengingat hal ini, pengadilan, pembuat kebijakan, dan praktisi, yang meliputi mereka yang sangat mendukung Masyarakat Adat, telah merancang sejumlah pendekatan untuk menyeimbangkan kepentingan yang saling bersaing, memastikan keabsahan konsultasi, dan melindungi esensi persetujuan.
Cara menerapkan pendekatan-pendekatan ini untuk pelaku-pelaku non-negara seperti TNC tidak benar-benar jelas, tetapi pertanyaan ini kurang begitu penting dengan mengingat komitmen TNC untuk mendapatkan persetujuan penuh dari MAKL yang terkena dampak sebelum melanjutkan inisiatif apa pun.
Mungkin saja komitmen TNC terhadap pendekatan berbasis persetujuan tidak akan menyelesaikan setiap konflik di kalangan masyarakat yang terkena dampak. Namun, skenario seperti itu, meskipun tidak lazim, dapat ditangani secara kasus per kasus. TNC mengakui keabsahan proses-proses PADIATAPA dan Konsultasi PADIATAPA selama prinsip-prinsip inti yang mendasari dan iktikad baik dipertahankan, tetapi kita memilih untuk menuntut diri menaati model berbasis persetujuan.